Katapoint.id - Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, pada Minggu (22/6/2025) mengumumkan bahwa dirinya akan melakukan kunjungan mendesak ke Moskwa guna bertemu langsung dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kunjungan ini dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan menyusul serangan udara Amerika Serikat (AS) dan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran.
Araghchi menyebut bahwa serangan AS tersebut telah melewati “garis merah besar” dan merupakan ancaman serius terhadap stabilitas global
“Mereka melewati garis merah yang sangat besar dengan menyerang fasilitas nuklir Iran,” ujar Araghchi di sela-sela pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang digelar di Istanbul, Turkiye, kutip dari AFP.
Beberapa jam sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa jet tempur Amerika telah meluncurkan serangan ke tiga lokasi nuklir di Iran.
Serangan ini terjadi sembilan hari setelah Israel melancarkan kampanye pengeboman terhadap fasilitas nuklir Iran.
“Yang paling berbahaya terjadi tadi malam,” kata Araghchi, seraya menyatakan bahwa ia belum memiliki data lengkap terkait dampak serangan tersebut, termasuk pada fasilitas pengayaan uranium bawah tanah di Fordo.
“Saya masih belum memiliki informasi pasti tentang tingkat kerusakan, tetapi saya rasa itu tidak penting. Serangan tadi malam adalah kejahatan serius,” lanjutnya
“Melalui tindakan ini, Amerika Serikat telah memberikan pukulan telak bagi perdamaian dan keamanan internasional,” katanya. “Iran akan membela diri dengan segala cara yang diperlukan terhadap agresi militer Amerika,” jelas dia.
Araghchi menyampaikan, dirinya akan bertolak ke Moskwa pada Minggu sore dan dijadwalkan menggelar pertemuan dengan Presiden Putin pada Senin (23/6/2025) pagi.
“Saya akan ke Moskwa sore ini untuk mengadakan konsultasi serius dengan presiden Rusia besok,” ujarnya.
Setelah serangan udara tersebut, Presiden Trump mengatakan bahwa Iran kini harus setuju untuk mengakhiri perang. Namun, Araghchi menolak keras tekanan untuk kembali ke meja perundingan.
Menurut Araghchi, tuntutan apa pun untuk kembali ke perundingan sudah tidak relevan lagi. “Dunia tidak boleh lupa bahwa Amerika Serikat-lah yang, di tengah-tengah proses diplomasi, mengkhianati perundingan dengan mendukung rezim Israel yang melakukan genosida dan melancarkan perang agresi ilegal terhadap bangsa Iran,” ungkap dia.
“Kami berdiplomasi, tetapi kami diserang. Mereka telah membuktikan bahwa mereka bukan pihak yang menjunjung diplomasi. Mereka hanya mengerti bahasa ancaman dan kekerasan,” tambahnya.
Sementara itu, Turkiye yang menjadi tuan rumah pertemuan OKI akhir pekan lalu, juga menyampaikan keprihatinan atas eskalasi konflik tersebut. Ankara memperingatkan bahwa situasi bisa berkembang menjadi konflik global.
“Perkembangan yang sedang berlangsung dapat menyebabkan konflik regional meningkat ke tingkat global. Kami tidak ingin skenario bencana ini terjadi,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Turkiye.[]