Katapoint.id | Banda Aceh – Gelombang pemadaman listrik massal kembali menyelimuti Aceh, menimbulkan keresahan warga serta kerugian ekonomi yang meluas. Dari Banda Aceh, Aceh Besar, hingga wilayah pantai timur seperti Langsa, Lhokseumawe, dan Aceh Tamiang, (01/10/2025)
Masyarakat harus menghadapi padam-hidup listrik berulang tanpa penjelasan memadai. Ribuan rumah tangga, usaha kecil, hingga fasilitas publik lumpuh akibat instabilitas pasokan listrik yang dinilai mencerminkan kegagalan manajemen.
Aminullah, Kepala Bidang Hukum dan HAM Bepro Aceh, menegaskan bahwa peristiwa ini tidak lagi bisa dipandang sekadar gangguan teknis. Menurutnya, blackout berulang merupakan bukti nyata kegagalan tata kelola dan pelanggaran hak masyarakat atas layanan dasar.
“Permintaan maaf saja tidak cukup. Publik berhak tahu penyebab blackout, wilayah terdampak, durasi pemadaman, hingga langkah konkret yang ditempuh. Itu adalah hak masyarakat yang dijamin Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik,” tegas Aminullah
Bepro Aceh menilai PLN abai terhadap prinsip manajemen risiko. Ketiadaan mitigasi yang kuat membuat pemadaman massal berulang dan masyarakat harus menanggung kerugian besar. Kerusakan perangkat elektronik, turunnya omzet UMKM, hingga terganggunya layanan kesehatan menjadi dampak nyata yang tidak bisa disepelekan.
“Blackout ini tidak bisa dikategorikan force majeure. Ada kelalaian, ada manajemen yang gagal, dan ada hak masyarakat yang dirampas. PLN wajib membuka data pemadaman kepada publik sekaligus menyiapkan skema kompensasi. Jika tidak, Bepro akan mengadvokasi langkah hukum bersama masyarakat,” tegasnya.
Bepro juga mendesak DPR Aceh serta Ombudsman RI Perwakilan Aceh untuk mengawasi kinerja PLN lebih ketat. Pemadaman berulang, menurut mereka, adalah cerminan lemahnya kontrol negara terhadap BUMN yang seharusnya menjadi tulang punggung pelayanan publik.
“Sudah saatnya PLN diaudit secara menyeluruh. Masyarakat tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari tata kelola yang buruk.” Tutup Aminullah.