Oleh: Rizki Laturrahmi, ST., MT.
Penemuan cadangan gas raksasa di Blok South Andaman, perairan lepas pantai Aceh, merupakan momentum bersejarah bagi daerah yang selama ini dikenal dengan potensi alamnya namun tertatih dalam pembangunan manusianya. Dengan estimasi cadangan mencapai 10 triliun kaki kubik, temuan ini bukan hanya menempatkan Aceh dalam peta energi Asia Tenggara, tetapi juga membuka kembali perdebatan lama: siapa yang berdaulat atas sumber daya alam Aceh ?
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menyampaikan pernyataan tegas bahwa kekayaan migas ini harus dikelola dengan adil dan berpihak kepada rakyat Aceh. Ia bahkan menyebut potensi gas Aceh lebih besar dari Timur Tengah, sebuah klaim yang tentu perlu dibuktikan secara teknis, namun secara politik cukup berhasil menggerakkan opini publik. Lebih dari itu, Mualem juga menegaskan perlunya pengelolaan mandiri melalui otoritas lokal sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Pernyataan Mualem ini mencerminkan narasi yang lebih dalam tentang keadilan energi—suatu prinsip bahwa akses, distribusi, dan manfaat dari energi harus merata, berkelanjutan, dan menghormati hak daerah penghasil.
Selama ini, Aceh memang belum sepenuhnya merasakan dampak dari kekayaan alamnya secara nyata. Tingkat pengangguran per Februari 2025 tercatat sebesar 5,50%, dengan 149.000 penganggur. Angka ini cukup tinggi, mengingat investasi migas terus mengalir sejak satu dekade terakhir.
Ada tiga hal krusial yang perlu digarisbawahi dari pernyataan Mualem:
Pertama, urgensi penguatan kelembagaan lokal.
BPMA sebagai lembaga pengelola migas Aceh perlu diperkuat secara politik, teknis, dan fiskal. Tanpa otoritas nyata dan kapasitas yang memadai, kedaulatan energi hanya akan menjadi jargon. Pemerintah pusat harus bersedia membuka ruang desentralisasi pengelolaan energi yang lebih konkret.
Kedua, partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan dan manfaat ekonomi.
Mualem benar ketika menyatakan rakyat Aceh tidak boleh hanya menjadi penonton. Harus ada kebijakan afirmatif agar tenaga kerja lokal terserap dalam proyek migas, pelatihan industri diberikan kepada pemuda daerah, dan dana hasil migas dikelola untuk memperkuat layanan dasar: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur desa.
Ketiga, perlunya reformasi tata kelola energi nasional.
Kritik Mualem terhadap sistem distribusi BBM berbasis barcode mencerminkan keresahan banyak daerah tentang pendekatan sentralistik pemerintah pusat. Keadilan energi hanya akan terwujud jika sistemnya adaptif terhadap kondisi lokal. Transparansi, digitalisasi yang inklusif, dan keterbukaan data harus menjadi bagian dari sistem baru yang ditawarkan.
Pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Prabowo, telah memberikan sinyal positif dengan mendukung reformasi regulasi sektor energi dan membuka pintu bagi investasi asing. Namun, investasi saja tidak cukup. Harus ada skema yang jelas dan terukur soal pembagian hasil, tanggung jawab sosial perusahaan, dan perlindungan lingkungan.
Temuan gas Aceh adalah peluang besar. Namun seperti semua peluang, ia mengandung risiko jika tidak dikelola dengan bijak. Narasi Mualem harus dikawal, bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan kebijakan, kapasitas birokrasi, dan pengawasan publik yang kuat.
Aceh berhak sejahtera. Tapi kedaulatan atas sumber daya bukan sekadar hak—ia adalah tanggung jawab.
Tentang Penulis:
Rizki Laturrahmi adalah pemerhati kebijakan publik yang fokus pada isu energi, pembangunan daerah, dan tata kelola sumber daya alam. Aktif menulis opini dan terlibat dalam advokasi sosial di berbagai daerah di Indonesia