Trending

Di Persimpangan Jalan: Politik, Kesetiaan, dan Perjalanan yang Tak Pernah Selesai

Yong - Redaksi
Sabtu, 30 November 2024

Di Persimpangan Jalan: Politik, Kesetiaan, dan Perjalanan yang Tak Pernah Selesai
Opini

93 views

Katapoint.id - Pemilihan Gubernur Aceh baru saja memasuki tahap akhir, dan kini kita, sebagai masyarakat yang terlibat, hanya tinggal menunggu hasil yang menentukan siapa yang akan memimpin provinsi ini selama lima tahun ke depan. Namun, setelah mengikuti perjalanan panjang ini, saya mulai bertanya-tanya: Apa sesungguhnya yang kita cari dalam sebuah pemilihan kepala daerah? Apa yang membuat sebagian orang tetap teguh mendukung calon mereka hingga akhir, sementara yang lain dengan mudah berbalik arah, berpindah ke kubu lawan tanpa beban?

Sebagai seorang Sarjana Ilmu Politik yang mendalami sedikitnya politik internasional, saya sadar bahwa kesetiaan dalam politik adalah hal yang sangat dinamis—terkadang lebih dipengaruhi oleh situasi dan kesempatan daripada prinsip moral atau etika. Dalam konteks Pilkada Aceh kali ini, satu hal yang menarik perhatian saya adalah harga diri—atau lebih tepatnya hilangnya harga diri dalam beberapa kasus. Kita menyaksikan bagaimana tim sukses dari beberapa calon yang tadinya berapi-api dan penuh percaya diri, dengan mudah berpindah mendukung pasangan calon lain begitu "badai politik" datang menghantam. Fenomena ini, apakah benar-benar fenomena biasa, ataukah justru menunjukkan bahwa dalam politik, kesetiaan hanyalah barang dagangan yang bisa dipindahtangankan setiap kali tawaran yang lebih menggiurkan datang?

Mungkin kita perlu Melihat sejarah—politik global, yang seringkali menunjukkan bahwa pergeseran dukungan dalam pemilihan bukanlah hal yang baru. Dari Pemilu di Amerika Serikat hingga pergolakan politik di negara-negara berkembang, satu hal yang selalu menjadi ciri khas adalah bahwa politik memang tidak mengenal kesetiaan yang abadi. "Tujuan menghalalkan cara," seperti yang dikatakan oleh Machiavelli dalam bukunya The Prince. Politik, sebagaimana dunia ini berputar, adalah arena yang memungkinkan segala sesuatu untuk dipertanyakan—termasuk komitmen dan prinsip.

Namun, meskipun politik mengajarkan kita untuk sering kali bertanya: "Apakah ini untuk kebaikan saya?"—ada pula sesuatu yang lebih fundamental yang muncul: perasaan moral dan integritas. Di sinilah letak ironi terbesar. Para pendukung yang dulu berapi-api membela calon mereka, yang sekarang dengan ringan hati mengalihkan dukungan, ternyata lupa akan nilai yang lebih besar: keteguhan hati. Seperti mahasiswa yang memilih untuk bergabung dengan kelompok yang lebih populer demi mendapatkan "kehidupan kampus" yang lebih nyaman, sebagian tim sukses ini tampaknya lebih memilih untuk berpindah haluan demi kenyamanan politik yang lebih pragmatis.

Kita sering mendengar bahwa dalam politik, "semua bisa dibeli dengan harga." Lalu saya bertanya, di mana harga diri mereka yang dulu begitu lantang mendukung? Akankah mereka yang berpindah dukungan ini juga membawa kembali janji-janji yang dulu mereka perjuangkan dengan penuh semangat? Atau mungkin mereka merasa bahwa berlayar dengan arus politik yang sedang populer adalah cara untuk tetap bertahan di dunia yang penuh persaingan ini?

Namun, jangan salah sangka. Saya tidak ingin menghakimi mereka yang memilih untuk berganti dukungan. Saya justru kagum pada mereka yang mampu melakukannya dengan penuh keyakinan dan tanpa ragu. Setelah semua, politik bukanlah perjalanan yang mulus dan bisa diprediksi, apalagi jika kita berbicara tentang Aceh—dengan segala kerumitan sosial dan sejarah panjang yang mengiringinya. Tetapi, saya hanya berharap agar mereka yang memilih untuk tetap setia pada pilihan mereka bisa melihat dunia ini dari perspektif yang lebih luas: bahwa kesetiaan dalam politik adalah sesuatu yang harus dijaga, bahkan ketika badai politik menghantam setiap hari.

Kita bisa belajar dari mereka yang tetap setia berjuang meski perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang. Terkadang, mereka adalah orang-orang yang paling tahu bagaimana cara bertahan di tengah riuhnya gelombang. Mereka adalah mereka yang tidak hanya berlayar mengikuti arus, tetapi memilih untuk tetap berpegang pada kemudi, meski perjalanan terasa semakin berat.

Lalu ada yang lebih menarik lagi—pada akhirnya, apakah kita benar-benar memilih berdasarkan prinsip, atau berdasarkan siapa yang lebih bisa mengatur permainan? Apakah kita memilih calon gubernur dengan keyakinan penuh bahwa mereka akan membawa perubahan, atau apakah kita lebih banyak terpengaruh oleh taktik jitu para politisi dan tim sukses yang begitu cerdik? Mungkin ini adalah pertanyaan yang tak akan pernah ada jawabannya.

Namun, satu hal yang pasti: politik adalah tentang perubahan, dan perubahan datang dengan harga. Kadang harga itu adalah kesetiaan, kadang harga itu adalah identitas kita sebagai individu. Yang jelas, tim sukses yang beralih haluan ini seharusnya merenung: "Apa yang saya jual, dan apakah itu sepadan dengan apa yang saya dapatkan?" Karena dalam politik, tidak ada yang benar-benar gratis, bahkan kesetiaan sekalipun.

namun coba kita menerka mungkin Mengkritik Pemerintahan adalah Hal yang Sia-sia karena Kita Doyan Melakukan Hal yang Sama, kenapa?

Mungkin Dalam perjalanan politik ini, kita harus sadar bahwa dalam praktiknya, sering kali kita mengkritik kebijakan pemerintahan yang tidak setia atau tidak konsisten, namun tidak jarang kita juga melakukan hal yang sama. Kita mengkritik politisi yang berbalik arah, tetapi pada saat yang sama, kita sendiri juga mudah berubah arah begitu situasi menguntungkan kita. Politik mengajarkan bahwa kita semua adalah bagian dari sistem yang sama—sistem yang penuh dengan ketidaksempurnaan dan kekurangan.

Jadi, daripada terjebak dalam kritik yang berulang tanpa perubahan yang berarti, lebih baik kita merenung, dan mengingatkan diri kita untuk tetap setia pada nilai-nilai yang kita perjuangkan. Kesetiaan bukan hanya soal memilih dan mendukung, tetapi juga soal menjaga komitmen, baik dalam kondisi yang menguntungkan maupun yang penuh tantangan.

Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh tokoh terkenal, Mahatma Gandhi: "Kesetiaan adalah bukti kekuatan seseorang." Dalam politik, kesetiaan menunjukkan integritas, kemampuan untuk bertahan di tengah cobaan dan godaan, serta kesediaan untuk memperjuangkan kebaikan bersama meski situasi berubah. Kita harus ingat bahwa kesetiaan bukan hanya tentang bertahan pada saat semuanya berjalan mulus, tetapi juga tentang tetap teguh meskipun kita dihadapkan pada godaan untuk berpaling.

Di sinilah pentingnya kita menjaga komitmen pada prinsip dan nilai, bahkan ketika badai politik atau godaan kesenangan pribadi datang. Kita harus berani bertanya pada diri sendiri: "Apakah saya tetap setia pada pilihan dan prinsip saya, ataukah saya tergoda untuk beralih arah hanya demi keuntungan sementara?"

Pada akhirnya, kesetiaan adalah perjalanan yang panjang dan tidak selalu mudah. Namun, dengan kesetiaan yang teguh, kita akan mampu berlayar menuju perubahan yang lebih baik. Sebagaimana peribahasa mengatakan, "Kesetiaan adalah jembatan antara janji dan tindakan." Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjembatani itu, menjaga kepercayaan dan komitmen kita, demi kemajuan bersama.

Semoga kita semua tetap teguh pada jalan yang benar, meski perjalanan ini tak pernah benar-benar selesai.[]

Opini: Mirza Balia S.IP.

Komentar
Baca juga
katapoint.id, All rights reserved. | Designed By Rifal Agustiar