Katapoint.id - BANDA ACEH - Krisis harga udang vaname kini menjerat ribuan petambak di Aceh. Sejak awal Agustus, harga komoditas ekspor unggulan itu jatuh drastis akibat penghentian sementara ekspor udang beku Indonesia ke Amerika Serikat. Kondisi ini membuat rantai distribusi terganggu, pasar lesu, dan petambak di pesisir Aceh terancam gulung tikar. Politisi PDI Perjuangan asal Aceh, Masady Manggeng, menilai situasi ini tidak bisa dianggap enteng dan pemerintah harus segera turun tangan.
Masady mengungkapkan, pabrik besar di Medan yang biasanya menjadi penopang distribusi sudah berhenti membeli hasil panen dari petambak Aceh. Hanya satu pabrik dengan kapasitas terbatas yang masih beroperasi, namun harga yang ditawarkan jauh dari acuan pasar. Berdasarkan data tabel Medan per 10 Agustus 2025, harga udang ukuran 30 ekor per kilogram tercatat Rp74.000. Tetapi kenyataannya, penampung hanya berani membayar Rp58.000-Rp60.000. Di tingkat tambak, rata-rata harga bahkan ambruk, penurunan harga rata-rata sebesar Rp17.000-Rp14.000 per kilogram. “Dengan kondisi seperti ini, petambak bukan hanya kehilangan keuntungan, tapi justru menanggung kerugian ratusan juta bahkan miliaran rupiah setiap siklus panen,” ujar Masady, Selasa 9 September 2025.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan kerentanan ini. Pada 2024, nilai ekspor udang Indonesia mencapai USD 2,15 miliar, dengan 65,3 persen atau sekitar USD 1,4 miliar dikirim ke Amerika Serikat. Sepanjang Januari-Mei 2025, nilai ekspor udang tercatat USD 820 juta, dan 62 persen di antaranya masih bergantung pada pasar yang sama. Ketika ekspor ke AS macet akibat isu regulasi pangan dan hambatan perdagangan, petambak di Aceh yang selama ini menjadi salah satu basis produksi nasional langsung terpukul.
Masady menilai pemerintah pusat dan daerah tidak bisa berpangku tangan. Menurutnya, jika tidak ada langkah intervensi cepat, ribuan petambak terancam gulung tikar, ribuan tenaga kerja kehilangan pekerjaan, dan kontribusi perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh akan merosot tajam. “Ini bukan sekadar masalah bisnis, tapi soal hajat hidup masyarakat pesisir. Pemerintah harus hadir memberi solusi,” tegasnya.
Beberapa langkah mendesak yang ia tawarkan antara lain penetapan harga dasar atau pemberian subsidi agar harga udang tetap stabil, diversifikasi pasar ekspor ke Asia, Timur Tengah, dan Eropa, serta pembangunan unit pengolahan hasil perikanan di Aceh agar petambak tidak tergantung pada pabrik di luar daerah. Ia juga mendorong adanya fasilitas pembiayaan lunak agar petambak bisa bertahan di tengah tekanan harga. Selain itu, Masady meminta koordinasi lintas kementerian baik itu KKP, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Luar Negeri untuk melakukan diplomasi dagang sehingga ekspor ke Amerika Serikat bisa kembali dibuka.
Krisis ini menjadi alarm serius bagi Indonesia termasuk Aceh yang masih bergantung pada pasar tunggal. Padahal, sebagai produsen udang terbesar kedua dunia setelah Ekuador, Indonesia seharusnya bisa bersaing dengan lebih percaya diri. Data menunjukkan Ekuador mampu menjaga harga ekspor tetap kompetitif berkat diversifikasi pasar dan efisiensi biaya produksi. Tanpa strategi serupa, posisi Indonesia terancam melemah di pasar global.
“Kalau ribuan petambak di Aceh tumbang, maka ekonomi pesisir akan runtuh. Pemerintah harus segera bertindak, jangan biarkan rakyat kecil menjadi korban dari ketergantungan pasar ekspor yang rapuh,” pungkasnya.[]