Trending

Warisan yang Berat: Ketika Bupati H Mirwan Dihadapkan pada Tumpukan Masalah Pemerintahan Lalu

Yong - Redaksi
Sabtu, 02 Agustus 2025

Warisan yang Berat: Ketika Bupati H Mirwan Dihadapkan pada Tumpukan Masalah Pemerintahan Lalu
Opini

400 views

Katapoint.Id - Tidak semua kepemimpinan dimulai dari halaman kosong. Ketika H. Mirwan MS - H Baital Mukadis resmi menjabat sebagai Bupati dan Wakil Bupati Aceh Selatan pada 17 februari 2025 lalu, dia tidak hanya menerima palu kekuasaan, namun juga mewarisi tumpukan persoalan lama mulai dari utang daerah, defisit anggaran, konflik birokrasi, polemik pertambangan, hingga sengketa lahan masyarakat yang belum terselesaikan.

Ini bukan sekadar transisi politik. Ini adalah ujian menyeluruh tentang kemampuan seorang kepala daerah dan wakilnya menghadapi "pemerintahan di atas reruntuhan kebijakan".

APBK Bocor: Utang dan Defisit Menghantui

Salah satu warisan paling berat yang dihadapi Bupati Mirwan dan Wakil Bupati Baital Mukadis adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) yang defisit dan keuangan daerah yang dililit hutang. Ketika H Mirwan dan wakilnya mulai bekerja, ditemukan beban utang daerah yang menggunung, dengan angka utang Pemkab tahun anggaran 2024 mencapai Rp 184,2 Milyar kepada kontraktor sebagai penyedia barang/jasa, serta tunggakan insentif untuk ASN dan tenaga honorer. Belum lagi sebanyak Rp 132,36 Milyar dana eanmark tahun anggaran 2024 terpakai tidak sesuai peruntukannya. Selain itu, diproyeksikan defisit riil Aceh Selatan mencapai Rp 267,36 Milyar.

Banyak proyek fisik yang sudah berjalan namun belum dibayar, bahkan sebagian tidak tercatat dengan tertib dalam sistem informasi keuangan daerah. Ada pula kegiatan yang dianggarkan ganda atau belanja fiktif yang sulit dipertanggungjawabkan.

“Ini bukan soal kekurangan uang semata, tapi soal bobroknya tata kelola fiskal di masa lalu".

Birokrasi Tersandera Loyalitas Lama

Ketika pemerintah berganti, tak semua birokrat ikut berubah. Bupati Mirwan dan Wakil Bupati Baital Mukadis harus menghadapi tantangan klasik: birokrasi yang masih ditempati loyalis pemerintahan lama. Beberapa kepala dinas dan pejabat eselon memilih “wait and see”, bahkan secara diam-diam diduga menghambat proses reformasi dengan memperlambat eksekusi program.

Akibatnya, banyak keputusan strategis terhambat di meja tengah. Evaluasi jabatan pun tidak mudah dilakukan karena berhadapan dengan politik internal dan tekanan dari luar sistem.

Ini bukan sekadar transisi politik. Ini adalah ujian menyeluruh tentang kemampuan seorang kepala daerah menghadapi "pemerintahan di atas reruntuhan kebijakan".

Di satu sisi, Bupati Mirwan ingin mempercepat reformasi birokrasi. Di sisi lain, ia harus menjaga stabilitas agar tidak terjadi kegaduhan politik yang lebih besar.

Tak hanya soal angka, Bupati Mirwan dan wakilnya juga mewarisi birokrasi yang terpolarisasi secara politik. Banyak jabatan struktural yang diisi berdasarkan loyalitas terhadap rezim sebelumnya, bukan melalui mekanisme meritokrasi. Akibatnya, proses transisi terganggu dan koordinasi pembangunan menjadi lambat.

Beberapa kepala dinas dan pejabat eselon terkesan tidak aktif bersinergi dengan tim pemerintahan baru. Bahkan, sebagian ASN diketahui “bermain dua kaki”— secara administratif tetap bertugas, namun secara politik justru bisa saja menjadi penghambat.

Hal ini menciptakan ruang konflik internal yang membebani kerja-kerja birokrasi, dan dalam beberapa kasus, menyebabkan kebijakan Bupati tersendat di tingkat pelaksana.

Pilihan Bupati H. Mirwan bukan tanpa risiko. Saat mencoba melakukan evaluasi terhadap struktur pejabat warisan lama, maka akan muncul tuduhan politisasi birokrasi yang menyebutkan “pembersihan” tanpa dasar hukum yang kuat.

Di sisi lain, banyak masyarakat sipil justru mendukung langkah Bupati untuk melakukan reformasi struktural, karena mereka merasakan dampak langsung dari buruknya tata kelola sebelumnya. Beberapa tokoh masyarakat bahkan mendorong agar dibentuk tim audit independen untuk menelusuri aliran anggaran tahun-tahun sebelumnya.

“Kalau ini tidak dibersihkan, bupati baru hanya akan jadi pemadam kebakaran. Setiap tahun hanya menutup lubang-lubang lama, tanpa bisa menggali program baru,” ujar salah seorang tokoh masyarakat.

Pengelolaan Tambang Bermasalah, Sengketa Lahan Marak Terjadi

Persoalan semakin kompleks ketika menyangkut warisan pertambangan dan konflik lahan. Pemerintahan sebelumnya pada tahun 2019 memberikan rekomendasi perpanjangan izin kepada sejumlah perusahaan tambang, termasuk PT Pembangunan Sarana Utama (PT PSU) dan KSU Tiega Manggis, namun tanpa menyelesaikan aspek legalitas dan penerimaan masyarakat lokal.

Akibatnya, kini pemerintah daerah dipaksa menangani konflik horizontal antarwarga, protes lingkungan, serta tuntutan hukum dari perusahaan yang mengklaim punya hak atas wilayah operasi.

Tak sebatas itu, Pemerintahan sebelumnya juga secara gencar memberikan rekomendasi eksplorasi pertambangan kepada sejumlah perusahaan tanpa melakukan kajian mendalam dari berbagai aspek, sehingga berpotensi menjadi bom waktu di masa depan.

Belum lagi sengketa lahan yang terjadi antara PT ASN maupun PT Asdal dengan masyarakat setempat juga semakin melengkapi persoalan. Ditambah dengan persoalan PT Aceh Lestari Indosawita(PT ALIS) yang begitu kompleks mulai dari pemberian izin PPKKPR yang diterbitkan menjelang akhir masa jabatan Bupati lama Tgk Amran, terancamnya konservasi Suaka Marga Satwa Rawa Singkil dan penggarapan lahan yang dilakukan tanpa adanya izin HGU.

Publik Menanti, Jalan Masih Panjang

Meski langkah awal sudah diambil, tantangan ke depan masih panjang. Bupati Mirwan tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan beban masa lalu, tetapi juga membuktikan bahwa ia mampu membangun sesuatu yang baru dan berdaya guna bagi rakyat.

Masyarakat menaruh harapan pada reformasi anggaran yang lebih jujur, birokrasi yang lebih profesional, penyelesaian konflik lahan yang adil, serta tata kelola tambang yang berpihak pada lingkungan dan rakyat.

Namun semua itu membutuhkan ketegasan politik, keberanian hukum, dan partisipasi publik yang konsisten.

Kini, fokus utama yang mesti dilakukan pemerintahan Mirwan diantaranya penyelamatan fiskal dan pemulihan kepercayaan publik. Beberapa langkah awal yang harus dilakukan seperti evaluasi proyek-proyek bermasalah, penataan ulang jabatan, dan pengetatan belanja daerah. Namun prosesnya tak akan mudah. Sebab, di tengah kebutuhan infrastruktur dasar, anggaran justru terkunci untuk menambal masa lalu. Pertanyaannya: mampukah Bupati Mirwan keluar dari bayang-bayang beban warisan ini?

Tentunya kita memahami, Pemerintahan H. Mirwan dan H Baital Mukadis bukan sekadar kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Ia adalah peralihan dari masa lalu yang ruwet menuju masa depan yang harus dibentuk ulang. Jika warisan yang diterima adalah masalah, maka tugasnya kini adalah meninggalkan warisan berupa solusi dan pembenahan menyeluruh.

Karena pemimpin yang baik bukan hanya menyalahkan masa lalu, tetapi mampu memutus rantai masalahnya dan memulai sejarah baru. []

Oleh: Ariyanda Ramadhan - Koordinator Gerakan Muda Peduli Aceh (GeMPA), Pemuda Labuhanhaji Raya

Komentar
Baca juga
katapoint.id, All rights reserved. | Designed By Rifal Agustiar