Katapoint.id - Tapaktuan - Untuk menghindari konflik lahan perkebunan masyarakat dengan pihak PT. ALIS, Advokat Maman Supriadi menyurati Bupati Aceh Selatan Prihal Permohonan Pemutakhiran Surat PKKPR Nomor: 21052410311101007.
Kuasa Hukum Mukhsin, Maman Supriadi menyurati Bupati Aceh Selatan dalam prihal permohonan Pemutakhiran Surat PKKPR Nomor: 21052410311101007 adalah sebagai langkah hukum dari wujud untuk membela kepentingan hukum kliennya, adapun surat permohonan tersebut telah diserahkan kepada Bupati Aceh Selatan pada Tanggal 15 Mei 2025 serta tercatat dalam agenda Surat Nomor: 690, Tanggal 15 Mei 2025, berdasarkan surat dari kami Nomor: 06/SPP/V/2025/ADV-MS, Tanggal 15 Mei 2025. Kata Maman Dalam Keterangan tertulisnya Kepada Media ini, Senin 21/07/2025.
Adapun prihal permohonan Pemutakhiran Surat PKKPR Nomor: 21052410311101007 yang kami memohonkan tersebut cukup berdasarkan hukum untuk dilakukan Pemutakhiran atas PKKPR, sebab pihak Pemegang KKPR (PT. ALIS) sejak memperoleh izin surat PKKPR tersebut. Ujarnya
"telah abai dan tidak patuh atas ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana diketahui bersama bahwa izin lahan perkebunan yang diberikan kepada PT. ALIS seluas 13.567.547 M² berdasarkan Surat PKKPR Nomor: 21052410311101007, terdapat adanya lahan-lahan perkebunan masyarakat yang telah lama dikuasainya secara terus-menerus, diantaranya lahan milik klien kami Mukhsin Dkk yang memilik secara sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sejak tahun 2022 yang diperoleh dari masyarakat, sedangkan pihak PT. ALIS baru mendapatkan izin PKKPR dari pemerintah daerah tahun 2024". Imbuhnya
Adapun surat izin PKKPR tersebut bukan suatu surat bukti kepemilikan atas tanah, melainkan hanya sebatas izin, kalau lokasi lahan yang dimohonkan oleh PT.ALIS lokasi tersebut telah sesuai dengan Tata Ruang, selain dari itu di lahan tersebut adanya pemiliknya, maka sudah sepatutnya pihak PT.ALIS jangan langsung mengklaim kalau lahan tersebut miliknya melainkan juga harus menghargai hak-hak keperdataan milik orang lain, ini bahkan telah menunjukkan tidak ada itikad baiknya untuk menyelesaikan masalah tersebut justru melakukan secara paksa untuk menggarap hingga menimbulkan kegaduhan dilapangan antar masyarakat dengan pihak PT. ALIS seperti kejadian kegaduhan dalam bulan Juli 2024 yang disebabkan oleh pihak PT. ALIS yang secara paksa menyerobot lahan-lahan masyarakat hingga dari pihak pemerintah melakukan pertemuan antara pihak PT. ALIS dengan masyarakat pada hari Senin tanggal 05 Agustus 2024 dilokasi lahan kebun yang melibatkan Pihak Keamanan dan pemerintahan daerah, namun persoalan tersebut belum adanya titik temu hingga saat ini.
Lanjut Maman Pihak PT. ALIS Dengan secara terang-terangan terus menggarapnya dan menguasainya kendatipun belum memilik hak kepemilik (HGU) namun tetap terus menggarapnya bahkan sebagaimana pernyataannya dalam konferensi pers pada tanggal 17/7/2025, yang menyatakan agar pemerintahan segera mengeluarkan izin HGUnya.
Adapun langkah-langkah tersebut yang dilakukan oleh Pemegang KKPR (PT.ALIS) tidak mencerminkan sebagai perusahaan (PT) yang memiliki itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan lahan tersebut serta juga tidak patuh terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, yang secara ketentuan hukum mengatur dan melindungi hak-hak keperdataan orang lain, artinya tidak serta merta bagi PT. ALIS kendatipun telah memperoleh izin dari pemerintah langsung dapat menguasai lahan tersebut dengan mengabaikan hak-hak orang lain, justru itu merupakan suatu perbuatan melawan hukum.
Sebagaimana yang diatur dalam UU Pokok Agraria dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang. Terangnya
Pasal 21 ayat (1) Setelah diterbitkannya KKPR yang belum memperoleh tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), pemegang KKPR harus membebaskan tanah dari hak dan kepentingan pihak lain berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atau pihak yang mempunyai kepentingan tersebut dengan cara jual beli, pemberian ganti kerugian, konsolidasi tanah, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) Sebelum tanah yang bersangkutan dibebaskan oleh pemegang KKPR semua hak atau kepentingan pihak lain yang sudah ada hak atas tanah yang bersangkutan tidak berkurang dan tetap diakui haknya, termasuk kewenangan yang menurut hukum dipunyai oleh pemegang hak atas tanah untuk memperoleh tanda bukti hak (sertipikat), dan kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya bagi keperluan pribadi atau usahanya sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, serta kewenangan untuk mengalihkannya kepada pihak lain. Ucapnya
Adapun mengenai ketentuan tersebut juga dipertegaskan dalam surat dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Aceh Selatan Nomor: 056/760/2024, Tanggal 25 September 2024 dan Surat dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Aceh Selatan Nomor: 503/230/2024, Tanggal 26 September 2024, yang menyatakan hal yang sama sesuai peraturan Nomor 13 Tahun 2021.
Selain dari itu juga salah satu syarat untuk mengajukan dan/atau diterbitkannya HGU bagi pemohon (PT.ALIS) harus melampirkan berupa dokumen informasi penguasaan tanah, tentu dalam hal ini bila pihak PT.ALIS telah memperoleh dokumen yang dimaksud dapat diduga diperoleh secara melawan hukum sebab hingga saat ini klien kami tidak melepaskan haknya kepada siapapun termasuk kepada PT.ALIS, bila hal tersebut benar telah terjadi maka hal tersebut suatu perbuatan pidana penyerobotan tanah sebagaimana di atur dalam Pasal 385 KUHP.
Untuk mencegah terjadi konflik lahan dikemudian hari, kami telah menyurati dan bertemu langsung dengan pejabat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan juga telah menyurati Bupati Aceh Selatan pada tanggal 15 Mei 2025.
Dalam kesempatan ini kami meminta kepada pihak-pihak terkait baik pemerintahan daerah maupun jajaran instansi pemerintahan pusat/kementerian di bidang Tata Ruang agar sebelum klirnya permasalahan tersebut agar tidak mengeluarkan Hak Guna Usaha (HGU) tersebut, hal tersebut kami tidak bermaksud untuk menghambat investasinya di Aceh Selatan melainkan sangat menjunjung tinggi namun harus tetap sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku demi terhidarnya konflik-konflik dikemudian hari. Pungkasnya []