Katapoint.id - Pada tanggal 7 September 2025, Ketua Barisan Muda Aceh (BMA) menyuarakan dukungan terhadap upaya hukum PK yang dilakukan oleh PT Beri Mineral Utama (BMU) pasca kekalahan mereka pada tingkat Kasasi.
Argumentasi yang dibangun meliputi dukungan terhadap pendirian industri yang diharapkan menunjang perekonomian masyarakat serta peluang lapangan pekerjaan dan investasi.
Selintas tidak ada yang salah dalam konsep berpikir tersebut. Hanya saja terdapat gagal nalar yang begitu mengkhawatirkan ketika kita melihat fakta yang terjadi di lapangan. Kami menilai bahwa pernyataan yang dikeluarkan oleh ketua BMA tersebut lahir dari hypomania (rasa tahu berlebih) yang akut tanpa melihat realitas lapangan.
Industri minerba di Aceh per Januari 2025 berjumlah sebanyak 59 IUP (ESDM, 2025). Data itu beriringan dengan tingkat kemiskinan penduduk Aceh pada Maret 2025 sebanyak 12,33%. Jika mengerucut lebih detail di daerah pedesaan tempat dimana industri dibangun, tingkat kemiskinan penduduk berada pada angka 14,44% yang mengantarkan Aceh masih sebagai provinsi termiskin di Sumatera.
Lantas, pendekatan ekonomi bagaimana yang disodorkan BMA dalam melihat prospek ekonomi Aceh melalui industri minerba? Terlebih jika kita melihat ratio Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh pada triwulan II didominasi oleh sumbangsih sektor pertanian dan perikanan.
Belum lagi kita melihat fakta sosial dan teknis bahwa rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh menghasilkan dominasi tenaga asing secara lintas regional maupun multinasional.
Jika merebak dalam pendekatan sosial, pergeseran kultural terasa begitu melekat akibat industri minerba disusul dengan kerusakan lanskap alam di area industri. Misalnya pada tahun 2022 masyarakat Menggamat di Aceh Selatan mengalami gagal panen akibat tanaman padi rusak oleh limbah industri emas yang berada di area hulu.
Bencana ini masih satu diantara banyaknya kejadian yang memaksa masyarakat lokal untuk bertransformasi secara kultural tanpa kesiapan ekonomi, kesehatan, dan legitimasi kebudayaan.
Kami melihat kapasitas BMA dalam menilai tegak dan berdirinya industri hanya dilandasi pada halusinasi pertumbuhan semu tanpa melibatkan legitimasi kultural dan _economics fair_ di tingkat masyarakat hingga regional Aceh.
Industri yang puluhan tahun tidak menghasilkan pertumbuhan apapun selain keuntungan individual yang berada di lingkaran industri itu sendiri. Kami akan terus menunggu pihak BMA untuk berdiskusi dan bersedia untuk meluruskan kecacatan fikiran yang melanda mereka.
Afrizal, Masyarakat Menggamat. 7 September 2025.