Katapoint.id - Sejak 2008, pemerintah pusat telah mengucurkan sekitar lebih Rp100 triliun dana Otonomi Khusus (Otsus) ke Aceh. Angka sebesar itu mestinya cukup untuk menyalakan dapur kesejahteraan berupa rumah layak bagi rakyat, pendidikan tinggi gratis, layanan kesehatan berkualitas, hingga lapangan kerja produktif. Namun yang terjadi, setelah lebih dari 15 tahun, Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 mencatat, 12,33 persen penduduk Aceh hidup miskin, setara dengan 704.690 orang. Angka ini memang turun dibanding September 2024 yang mencapai 12,64 persen. Bahkan enam bulan terakhir, ada 85.570 orang keluar dari garis kemiskinan, penurunan tercepat dalam empat tahun terakhir. Tetapi angka itu ibarat fatamorgana di padang pasir yang menunjukkan gerakan, tapi tak menyentuh inti persoalan, dimana struktur penguasaan yang timpang.
Dana yang Menguap, Rakyat yang Lapar
Dari perspektif materialisme dialektika historis, kontradiksi antara dana triliunan dengan realitas kemiskinan menunjukkan kesalahan dalam basis distribusi ekonomi. Alih-alih menjadi alat emansipasi, Otsus lebih sering menjelma mesin rente bagi elite birokrasi dan politik. Tan Malaka dalam filsafat Madilog mengingatkan bahwa akal sehat harus menyingkap mitos, dan di Aceh, mitos kesejahteraan dari Otsus ternyata menyembunyikan praktik korupsi, salah urus, dan penyaluran yang tidak tepat sasaran.
Lihatlah realitas sehari-hari. Masih banyak anak yatim, janda, dan mantan kombatan yang hidup dalam rumah reyot, hanya terdata tiap tahun tanpa pernah mendapat bantuan. Pendidikan yang disebut “gratis” masih sering dibayangi pungutan liar. Banyak orang tua terpaksa menghentikan pendidikan anaknya di SMA karena biaya tambahan terlalu mahal. Layanan kesehatan memang ditopang Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), tapi tunggakan klaim BPJS terkadang membuat pelayanan sering tersendat. Ada pula indikasi tumpang tindih dengan JKN yang justru menambah kekacauan.
Sementara itu, lapangan kerja tak kunjung tercipta. Aceh kaya sumber daya alam, namun rakyat hanya menjadi penonton. Konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan atau tambang terus berulang. Program plasma yang dijanjikan untuk rakyat sering tak jelas wujudnya. Tambang rakyat tidak kunjung dilegalkan, sehingga masyarakat dilarang menikmati hasil alam di tanahnya sendiri. Padahal, 19 Provinsi lain di Indonesia tanpa kekhususan seperti Aceh sudah dilakukan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan sudah banyak rakyatnya yang diberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), namun di Aceh dengan kekhususannya justru membuat rakyat menambang di tanah leluhurnya dihantui penegakan hukum dan dituding ilegal.
UMKM, yang digadang-gadang sebagai tulang punggung ekonomi, masih kesulitan banyak yang akses modal. Realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) Aceh pada 2024 katanya mencapai Rp4,93 triliun, tetapi faktanya banyak usaha kecil tetap gagal mendapatkan pinjaman karena syarat agunan yang berat dan rendahnya literasi finansial. Bagi bank, angka KUR adalah statistik, namun bagi rakyat kecil, ia tetap menjadi pintu sering tertutup.
Kontradiksi lain tampak pada peta kemiskinan per kabupaten. Aceh Singkil mencatat 19,06 persen penduduk miskin, diikuti Pidie (18,59%), Gayo Lues (18,30%), dan Pidie Jaya (18,28%). Hanya Banda Aceh yang mampu menekan kemiskinan di bawah 10 persen, yakni 6,95 persen. Ironinya, daerah dengan elite politik dan birokrat terkaya justru sering menempati daftar termiskin.
Di balik angka itu, korupsi terus mencabik legitimasi Otsus. Kasus penyimpangan program, korupsi proyek pembangunan menjadi bukti bahwa dana triliunan tidak pernah benar-benar “mendarat” ke meja makan rakyat.
Bagi rakyat Aceh, Otsus pernah dianggap emas, sebagai lambang rekonsiliasi, simbol kedaulatan, dan jalan menuju kemakmuran. Namun kini, emas itu lebih mirip abu di periuk. Rakyat masih menunggu rumah layak, pendidikan gratis berkualitas, dan layanan kesehatan yang manusiawi hingga lapangan pekerjaan. Mereka menunggu, sementara elite asyik berpesta dengan kursi jabatan dan proyek mercusuar.
Sun Tzu dalam The Art of War menulis, strategi tanpa taktik adalah jalan paling lambat menuju kemenangan, sementara taktik tanpa strategi adalah kegaduhan sebelum kekalahan. Pengelolaan Otsus Aceh gagal selama ini karena tak pernah benar-benar punya strategi. Audit independen, transparansi pengelolaan, serta redistribusi sumber daya menjadi prasyarat jika emas Otsus ingin benar-benar berubah menjadi kesejahteraan.
Kalau tidak, Aceh akan terus dipenuhi paradoks bahwa angka kemiskinan yang sesekali turun di atas kertas, tapi perut rakyat tetap kosong. Dana triliunan akan tetap menguap, sementara periuk di dapur rakyat Aceh hanya berisi abu.[]
Penulis : Fadhli Irman (Pemerhati Sosial Politik, Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala 'GerPALA)