Katapoint.id - Menata kembali keuangan daerah di tengah badai fiskal yang diwariskan bukan perkara mudah. Dibutuhkan kehati-hatian, transparansi, dan keberanian mengambil sikap tegas agar pengelolaan keuangan Aceh Selatan tidak lagi terjebak dalam kebiasaan masa lalu yang ugal-ugalan dan penuh risiko.
Bupati Aceh Selatan H. Mirwan MS saat ini menghadapi beban warisan utang Rp 184,2 Milyar dan defisit riil yang mencapai Rp 267 miliar. Di saat bersamaan, pemerintah pusat juga mengeluarkan kebijakan efisiensi yang memangkas anggaran Aceh Selatan sebesar Rp 109 miliar. Kombinasi tekanan fiskal ini memaksa Pemkab untuk mengatur ulang arah pelayaran keuangan daerah secara teliti dan bertahap.
Harus kita akui bahwa utang daerah tersebut sebagian besar bersumber dari pola pengelolaan yang keliru bisa jadi dikarenakan oleh sikap terlalu bernafsu menghadirkan proyek tanpa mencermati ketersediaan anggaran yang riil, termasuk berakhibat pada penggunaan dana earmark yang tidak tepat sasaran. Pada tahun 2023 saja, tercatat dana earmark sebesar Rp 73,9 miliar digunakan tidak sesuai peruntukannya. Ironisnya, angka ini melonjak tajam pada tahun 2024 menjadi Rp 132,6 miliar, sebuah bukti betapa tata kelola anggaran daerah Aceh Selatan sebelumnya telah berada di jalur yang mengkhawatirkan.
Penggunaan dana earmark yang menyimpang tidak hanya mencoreng integritas fiskal, tetapi juga membuat pemerintah pusat menjadi ragu. Kepercayaan pusat terhadap daerah bisa tergerus, bahkan berisiko pada pengurangan transfer anggaran di masa depan.
Hal inilah yang kini menjadi salah satu fokus koreksi oleh Pemkab Aceh Selatan di bawah kepemimpinan Mirwan. Sehingga bukan sebatas bicara cepat dibelanjakan, tapi bagaimana menata fundamental keuangan daerah agar selamat dari kondisi kronis.
Penggunaan dana earmark yang menyimpang tidak hanya mencoreng integritas fiskal, tetapi juga membuat pemerintah pusat menjadi ragu. Kepercayaan pusat terhadap daerah bisa tergerus, bahkan berisiko pada pengurangan transfer anggaran di masa depan. Hal inilah yang kini menjadi salah satu fokus koreksi oleh Pemkab Aceh Selatan di bawah kepemimpinan Mirwan.
Dalam menyelesaikan utang, baik yang bersifat Ganti Uang (GU) maupun langsung (LS), Pemkab Aceh Selatan seyogyanya berkomitmen untuk menerapkan skema pembayaran yang selektif dan berbasis review Inspektorat.
Untuk GU, misalnya, pembayaran dilakukan berdasarkan klasifikasi dan prioritas, utamanya kepada instansi yang bersentuhan langsung dengan layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. Sementara yang sifatnya kurang prioritas maka dikesampingkan terlebih dahulu.
Sedangkan pada utang untuk kegiatan LS, pendekatan yang lebih rasional diprioritaskan. Sebagai contoh, jika alokasi ketersediaan anggaran hanya Rp 50 milyar untuk tahun ini maka Pemkab bisa saja memprioritaskan terlebih dahulu membayar kegiatan di bawah Rp 1-1,5 miliar agar lebih banyak rekanan menerima pembayaran dan roda ekonomi lokal ikut bergerak.
Bukan justru terlalu banyak membayar kegiatan-kegiatan besar apalagi jika kegiatan besar tersebut ternyata dikuasai oleh satu rekanan, tentunya langkah tersebut tidak bijak. Perlu diketahui bahwa Pemkab Aceh Selatan tidak mesti membayar warisan utang daerah yang begitu besar itu secara sekaligus, namun bisa saja dilakukan untuk jangka waktu hingga tahun ke depan.
Namun, di sisi lain, realisasi anggaran tahun 2025 juga mengalami keterlambatan. Hingga Agustus 2025, DPA masih belum tuntas sepenuhnya. Dampaknya juga tak elok, perputaran uang di masyarakat menurun, dan denyut ekonomi lokal terasa melemah. Namun harus kita maklumi hal ini tak lepas dari efek domino persoalan defisit serta pemangkasan dana perimbangan pusat daerah yang bersumber seperti DAK, DBH, dan DID.
Apalagi sumber PAD Aceh Selatan masih sangat dan realisasinya juga begitu rendah, sehingga membuat ketergantungan dari anggaran perimbangan dan dana otonomi khusus Aceh(DOKA), belum lagi DOKA untuk Kabupaten/Kota sampai saat ini belum ditransfer oleh Pemerintah Pusat.
Disamping itu, memang sudah seyogyanya seorang pimpinan daerah tidak terpaku dan menyerah begitu saja dengan kondisi yang ada. Langkah H Mirwan membangun komunikasi dengan pemerintah pusat dan melakukan lobi-lobi memang sudah sepatutnya dilakukan dengan harapan tahun depan akan lebih cerah. Pasalnya jika hanya berharap pada sumber APBK tanpa adanya jemputan di pusat, dengan kondisi anggaran daerah, maka program-program produktif untuk masyarakat akan terhambat.
Meski demikian, langkah terbuka dan transparan Bupati Mirwan MS dalam mengungkap kondisi keuangan daerah patut diacungi jempol. Di tengah tekanan politik dan upaya pembungkaman informasi dari segelintir pihak, Mirwan tetap bersikukuh bahwa rakyat Aceh Selatan berhak mengetahui kondisi fiskal yang sesungguhnya. Karena keberanian untuk mengakui dan mengungkapkan masalah adalah langkah pertama menuju perubahan.
Aceh Selatan memang sedang menata ulang haluan anggarannya. Dan itu bukan perkara yang bisa selesai dalam sekejap. Tapi satu hal pasti, badai fiskal tak akan kembali jika nakhodanya tetap menjaga arah, menghindari karang masa lalu, dan berlayar dengan kompas yang yang lebih terarah.[]
Oleh : Rusdiman- Koordinator Kaukus Peduli Aceh Selatan (KP2AS)